No Viral, No Justice”, Kritik Burhanuddin Terhadap Ketergantungan Penegakan Hukum pada Media Sosial

Detiksorotan.com,Jakarta – Sekretaris Jenderal Komite Anti Korupsi Indonesia, Burhanuddin, S.H., melontarkan kritik tajam terhadap fenomena penegakan hukum di Indonesia yang dinilainya semakin bergantung pada viralitas di media sosial.kamis(17/04/25)

Dalam pernyataannya, ia menyoroti istilah “No Viral, No Justice” sebagai potret buram dari sistem keadilan yang tidak lagi murni berjalan atas dasar hukum, melainkan tekanan opini publik digital.

“Ini menjadi ironi besar dalam penegakan hukum kita. Seolah-olah keadilan hanya akan hadir jika kasusnya trending di media sosial,” ujar Burhanuddin.

Ketergantungan pada Media Sosial

Menurut Burhanuddin, media sosial memang telah menjadi sarana efektif untuk menggalang solidaritas publik dan meningkatkan kesadaran terhadap isu keadilan. Namun, ketergantungan berlebihan pada platform digital berpotensi menimbulkan ketimpangan akses terhadap keadilan.

“Mereka yang tidak memiliki akses atau pengaruh di media sosial, bisa jadi tidak pernah mendapat perhatian, meskipun hak-haknya dilanggar,” tambahnya.

Ia juga mengingatkan bahwa popularitas isu di media sosial tidak selalu mencerminkan tingkat urgensi atau kedalaman pelanggaran hukum yang terjadi. Hal ini bertentangan dengan prinsip keadilan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

Kasus-Kasus Viral yang Langsung Ditindak

Burhanuddin mencontohkan beberapa kasus yang mendapat perhatian dan langsung direspons aparat karena menjadi viral, seperti:

  • Kasus korupsi Timah dengan tersangka Muis yang langsung diproses hukum.
  • Kasus suap hakim DS dalam perkara Walikota Kediri yang mendapat tindakan cepat dari Komisi Yudisial.
  • Kasus 3 hakim dalam skandal ekspor CPO yang dijerat oleh Kejaksaan Agung setelah ramai di publik.

“Ini membuktikan bahwa tekanan publik melalui media sosial bisa menjadi pemicu penegakan hukum. Namun, ini bukanlah sistem ideal,” tegas Burhanuddin.

Untuk mengatasi ketergantungan pada viralitas, Burhanuddin mendorong adanya penguatan sistem hukum berbasis keadilan substantif dan independen, sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan.”

Ia juga mendorong aparat penegak hukum agar lebih proaktif dan tidak menunggu viralitas semata untuk bertindak.

“Keadilan seharusnya hadir untuk siapa saja, bukan hanya untuk mereka yang kasusnya viral,” pungkasnya.

Fenomena “No Viral, No Justice” adalah sinyal kuat bahwa penegakan hukum Indonesia perlu pembenahan sistemik. Keadilan sejati adalah keadilan yang hadir tanpa harus ditagih oleh trending topic melainkan sebagai hak dasar setiap warga negara.(red)

.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *